Menjelajahi Kampung Adat di Waikabubak, Sumba Barat

Kota Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.

Buat kalian yang pertama kali mendengar nama kota ini, apa sih yang ada di otak kalian semua tentang kota di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur ini?

Padang rumput, kuda, panas terik, kota kecil, banyak orang berpakaian adat berkeliaran di jalanan, banyak orang makan sirih pinang, atau hujan dan angin ribut? Saya yakin dua yang terakhir pasti tidak ada yang kepikiran sampai kesitu.

Pasti kalian mikirnya, Masa sih di NTT ada hujan plus angin ribut??
Tapi kenyataan memang kadang-kadang suka beda sama apa yang kita pikirkan selama ini. Hari pertama sampai di kota Waikabubak, saya sudah disambut sama gerimis mengundang *nyanyi gerimis mengundang ala Slam tahun 1990-an*

Lalu  melihat hamparan sawah hijau yang bagaikan karpet .. iya sawah beneran.. Tidak percaya kan? Saya yang melihatnya dengan mata kepala sendiri saja nyaris tidak percaya ketika melihat hamparan hijau royo-royo begitu. Benar-benar pemandangan yang menyejukkan mata, hati dan pikiran euy.
Hamparan sawah di kota Waikabubak
dilihat dari kampung adat Waitabar
Ternyata nih yeee.. Kita lagi beruntung karena datang kesana pas musim hujan sehingga daerah di sini terlihat hijau banget dengan hamparan persawahan dan kebunnya karena air sedang berlimpah. 

Namun, dengan adanya musim hujan begini, wilayah di sini juga otomatis langganan terkena angin ribut. Di malam hari, saking kencengnya tuh angin ribut, genteng seng di hotel tempat menginap terdengar seperti akan copot semua pakunya saking kerasnya suara angin ribut. Untungnya sih hal itu tidak terjadi, cuma kedengarannya aja begitu. Kalo copot beneran mah gawat kali.. hohoho..

Setelah mencari-cari hotel yang nyaman untuk di tempati, akhirnya saya dan teman saya, Syarifah, menginap di hotel Karanu. Kalau saya bilang sih kamar di hotel ini lebih mirip kamar kost daripada kamar hotel. 

Bayangin aja, di dalam kamar ada satu tempat tidur, satu lemari kecil dan satu meja rias. Kamar mandinya masih pakai bak mandi dan tidak ada gayungnya. Resepsionisnya lebih sering tidak ada di tempat daripada ada. Boro-boro mau pesan makanan, saya mau minta gayung aja bingung mau minta kemana karena setelah check in, kita ditinggal begitu saja.. 

Akhirnya, masa bodoh lah.. yang penting tugas harus segera dilaksanakan yaitu LIPUTAN!!!!
Sekarang, saya pun menuju Kampung Adat yang letaknya sedikit di atas bukit dan berada di tengah kota ini, namanya kampung Prai Kalembu, Waitabar dan Tarung.
Kampung adat di atas bukit di tengah kota Waikabubak
Begitu masuk ke kampung adat, berasa macam masuk ke mesin waktu dan pindah ke jaman batu. Zaman batu sesungguhnya. Rumah.. masih beratap jerami. orangnya .. masih makan sirih pinang.. Kuburannya.. pake batu.. ASLI lhoo..  makanya saya bilang zaman batu.. hehehehe...
Kampung adat Prai Kalembu
Kampung adat Waitabar
Tapi kalau mau pake istilah sekarang, kampung adat ini memang eksotis bangettsss!!

Begitu masuk ke kampung adat ini, kita pastinya akan langsung disambut oleh para penduduk di sana. Mereka memperkenalkan diri dan mengajak berkenalan. Kemudian mereka menyodorkan buku tamu kepada saya, jadi ya saya isilah buku tamu tersebut. Sepertinya mereka memang sudah terbiasa kedatangan tamu sehingga telah menyiapkan buku tamu tersebut.

Sambil mengisi buku tamu tersebut, saya pun membaca beberapa nama tamu dan daerah asalnya. Ternyata, ada kolom sumbangannya di buku tamu tersebut. Rata-rata semua orang yang mengisi buku tamu itu memberikan sumbangan bervariasi dari Rp10 ribu sampai Rp100 ribu.  
Semakin banyak tanduk kerbau, semakin kaya orang tersebut
Yang mengisi buku tamu bervariasi dari wisatawan dalam negeri sampai wisatawan asing dari seluruh dunia. Perbandingannya sih menurut saya sekitar 60-40 persen dengan lebih banyak wisatawan asingnya.

Penduduk disini rata-rata beprofesi sebagai petani dan penenun kain. Harga kain bervariasi antara Rp50 ribu sampai jutaaan rupiah, tergantung besar kecilnya bahan dan tingkat kerumitan motifnya. Biasanya sih syal itu harganya Rp50 ribuan.
Penenun kain di kampung adat Prai Kalembu
Setelah seharian mondar-mandir di kampung ini untuk menyelesaikan tugas negara, akhirnya di sore hari saya dan teman pun harus balik ke hotel dan beristirahat. Besok tugas negara kami akan dilanjutkan ke kota Kodi di Sumba Barat Daya untuk meliput tradisi adat PASOLA.
Senangnya bisa mengunjungi kampung adat di Waikabubak
Seperti apa PASOLA itu? Kalian bisa membaca ulasan lengkapnya di artikel  Pasola, Tradisi Persembahan 'Agama' Marapu Untuk Dewa Nyale. (EKW)

Comments

  1. Dari dulu selalu kepengen ke kamoung adat, belum kesampaian. Ini keren banget mba.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa.. desa adat ini memang keren banget.
      Alhamdulillah bisa berkesempatan mengunjunginya

      Delete
  2. 60 : 40 masih mending lho.. dulu 2012 ke kampung bena yg tertulis di buku tamu hampir semua turis asing, dikit bgt yg asalnya Indonesia..

    btw sumba lagi populer2nya yah kayanya..

    Salam
    -Traveler Paruh Waktu

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa saat ini sumba memang lagi populer..
      dulu sih saya kesana tahun 2012 sihh.

      Delete
  3. Itu tanduk kerbaunya, karna potong kerbau sendiri atau emang beli tanduknya aja

    ReplyDelete
    Replies
    1. potong sendiri. Di sumba kerbau termasuk hewan dengan status sosial tinggi. Semakin banyak kerbau semakin kaya dan terpandang orang tersebut di daerahnya.

      Delete
  4. Wah keren banget ya mbak, berwisata sekaligus mengenal sisi lain kebudayaan di Indonesia. Salam kenal.

    https://ursulametarosarini.blogspot.co.id/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga.
      Alhamdulillah masih bisa berkeliling Indonesia karena masih banyak tempat menarik yang belum banyak dijelajahi orang.. :)

      Delete

Post a Comment