Berkunjung ke wilayah Pulau Sumba, NTT rasanya kurang lengkap kalau tidak menyaksikan Festival Pasola. Hmm.. Festival Pasola.. Saat itu (Februari 2002) saya yakin di antara sepuluh ribu orang Indonesia yang ditanya soal Festival Pasola, hanya beberapa orang saja yang tahu. Kini, festival ini menjadi salah satu festival tahunan yang selalu ada di kalender pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Sebenarnya kalau mau membahas soal festival Pasola, rasanya kurang lengkap kalau belum membahas soal kepercayaan Marapu. Namun kalau dibahas sekarang, artikel ini bisa tidak fokus jadi saya akan membahas soal kepercayaan Marapu itu di artikel sebelumnya.
Baca juga : Marapu, kepercayaan Lokal di Tanah Sumba
Festival Pasola adalah salah satu upacara adat dari kepercayaan Marapu. Pasola merupakan sebuah permainan berkuda dan melempar lembing yang dilakukan oleh 2 kubu. setiap kubu memiliki beberapa pemain atau bisa juga disebut sebagai seorang prajurit.
Bulan Maret saya berkesempatan menyaksikan festival Pasola di desa Wainyapu, kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya. Letak daerah ini sekitar 3 jam dari kota Waikabubak, Sumba Barat.
Menurut Kepala Desa Wainyapu, Oktavianus Ndari, Pasola merupakan rangkaian upacara persembahan kepada dewa Nyale. sebelum Pasola dilakukan, pada malam hari menjelang subuh dilakukan pengambilan Nyale di pantai. Nyale adalah cacing yang hanya muncul sekali dalam setahun di pantai. Mungkin mirip dengan tradisi memanen cacing Wawo di beberapa daerah di Maluku. Sayangnya, karena letak kota yang jauh, maka saya belum berkesempatan menyaksikan prosesi pengambilan Nyale di pantai.
Nyale bisa menjadi pertanda kesuburan ataupun panen raya. Semakin banyak Nyale yang terkumpul, maka diprediksi akan ada panen raya di masa akan datang. Setelah pengumpulan Nyale dilakukan, pagi harinya seorang pemimpin adat Marapu, akan membaca doa dan meminta izin kepada dewa Nyale untuk melaksanakan Pasola sebagai ucapan terima kasih atas panen yang akan datang.
Saya sampai di desa Wainyapu pada pukul 10.00 pagi waktu setempat. Sudah banyak warga dari beberapa desa disekitarnya yang berkumpul di lapangan desa tersebut. Sudah ada 2 kubu peserta yang berkumpul. Tiap kubu ini terdiri dari beberapa orang yang berasal dari beberapa desa. Menurut Oktavianus Ndari, semua orang boleh ikut serta dalam tradisi Pasola ini. Namun ada beberapa syarat yaitu, mahir berkuda, memiliki kuda sendiri, dan mahir melempar lembing.
Tepat pukul 11.00 Festival Pasola pun dimulai dengan sebuah tarian adat dan nyanyian khas Sumba. Setiap prajurit mencoba maju ke daerah lawan dan menggertak. Jika lawan belum maju, maka lembing tidak boleh dilempar ke arah lawan. begitu pula ketika kuda lawan telah berbelok meninggalkan daerah lawan, tidak boleh melempar lembing ke arah prajurit tersebut. Intinya, junjung tinggi sportifitas dan tidak boleh secara pengecut menyerang lawan dari belakang.
Setelah kondisi kedua kubu mulai memanas, maka satu per satu lembing pun mulai berterbangan di tengah lapangan. Ada yang terkena lemparan lembing, ada pula yang jatuh dari kuda. Namun semuanya disambut secara dengan teriakan sukacita oleh semua penonton, kecuali saya yang sedikit ngeri menonton dari pinggiran lapangan. tiba-tiba, ada seorang prajurit yang tengah berkuda namun terlihat ada noda merah menetes dari kepala dan darah pun bercucuran hingga kuda yang berwarna putih itu pun sempet berlumuran darah sang prajurit.
Anehnya, prajurit itu justru disambut dengan teriakan sukacita dari seluruh penonton yang ada disana. Mereka meloncat-loncat kegirangan, bernyanyi dan menari. Prajurit itu pun langsung dibawa ke puskesmas terdekat dan kubu lawannya pun dinobatkan menjadi pemenangnya.
Ternyata, dalam tradisi Pasola, darah yang jatuh dari seorang prajurit dan membasahi bumi dianggap sebagai pemberi kesuburan bagi tanah Sumba. Pantas saja semua orang terlihat bersukacita melihat ada seorang prajurit yang terluka terkena lemparan lembing. Bagaimana jika ada yang meninggal saat Pasola berlangsung? Berdasarkan keparcayaan Marapu sejak zaman dahulu kala ini, tidak akan ada tuntutan hukum dari keluarga. Buat mereka, prajurit yang gugur saat tradisi Pasola berlangsung justru membuat derajat mereka naik dan diakui di tengah masyarakat.
Aneh, namun itulah tradisi dan festival Pasola di Tanah Sumba. Jika berkesempatan mengunjungi Sumba, kunjungi pada saat Pasola akan berlangsung, antara bulan Februari dan Maret setiap tahunnya. Jangan lupa membawa payung, karena beberapa daerah di pulau Sumba sedang mengalami musim hujan. (EKW)
Salah seorang prajurit Pasola |
Baca juga : Marapu, kepercayaan Lokal di Tanah Sumba
Festival Pasola adalah salah satu upacara adat dari kepercayaan Marapu. Pasola merupakan sebuah permainan berkuda dan melempar lembing yang dilakukan oleh 2 kubu. setiap kubu memiliki beberapa pemain atau bisa juga disebut sebagai seorang prajurit.
Bulan Maret saya berkesempatan menyaksikan festival Pasola di desa Wainyapu, kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya. Letak daerah ini sekitar 3 jam dari kota Waikabubak, Sumba Barat.
Para penonton dan prajurti bersiap memulai Pasola |
Nyale bisa menjadi pertanda kesuburan ataupun panen raya. Semakin banyak Nyale yang terkumpul, maka diprediksi akan ada panen raya di masa akan datang. Setelah pengumpulan Nyale dilakukan, pagi harinya seorang pemimpin adat Marapu, akan membaca doa dan meminta izin kepada dewa Nyale untuk melaksanakan Pasola sebagai ucapan terima kasih atas panen yang akan datang.
Saya sampai di desa Wainyapu pada pukul 10.00 pagi waktu setempat. Sudah banyak warga dari beberapa desa disekitarnya yang berkumpul di lapangan desa tersebut. Sudah ada 2 kubu peserta yang berkumpul. Tiap kubu ini terdiri dari beberapa orang yang berasal dari beberapa desa. Menurut Oktavianus Ndari, semua orang boleh ikut serta dalam tradisi Pasola ini. Namun ada beberapa syarat yaitu, mahir berkuda, memiliki kuda sendiri, dan mahir melempar lembing.
Tepat pukul 11.00 Festival Pasola pun dimulai dengan sebuah tarian adat dan nyanyian khas Sumba. Setiap prajurit mencoba maju ke daerah lawan dan menggertak. Jika lawan belum maju, maka lembing tidak boleh dilempar ke arah lawan. begitu pula ketika kuda lawan telah berbelok meninggalkan daerah lawan, tidak boleh melempar lembing ke arah prajurit tersebut. Intinya, junjung tinggi sportifitas dan tidak boleh secara pengecut menyerang lawan dari belakang.
Antusiasme penonton menyaksikan Pasola |
Dua pemimpin kubu sebelum festival Pasola dimulai |
Anehnya, prajurit itu justru disambut dengan teriakan sukacita dari seluruh penonton yang ada disana. Mereka meloncat-loncat kegirangan, bernyanyi dan menari. Prajurit itu pun langsung dibawa ke puskesmas terdekat dan kubu lawannya pun dinobatkan menjadi pemenangnya.
Para prajurit memulai Pasola dengan saling menggertak |
salah satu pemain Pasola yang senang saat tombaknya mengenai lawannya |
Nyale itu nama dewa ya ternyata? Saya taunya Nyale itu yang ngambilin cacing di pantai, tapi daerahnya di Lombok, NTB. Di Sumba ada juga ya tradisi seperti itu. Beruntung banget bisa lihat langsung tradisi Pasola, Mbak. Ngeri juga ya tapi, bisa sampai ada yang terluka bahkan rela mengorbankan nyawa.
ReplyDeleteIni mereka agamanya Marapu ya. Serem ya, tapi gimana, wong ini memang kebudayaan daerah dari Lombok ya. Selain Pasola yang mengerikan tradisinya, ada hal-hal menarik lainnya, nggak, Mbak?
ReplyDelete*btw aku follow blognya ya Mbak.
Ngeri ya sampai berdarah peserta prajuritnya. Tapi ya kejadian itu bikin bangga, karena udah jadi tradisi sih. Seneng bisa hadir dalam event tradisi Pasola ya. Nggak banyak orang dari luar daerah tersebut bisa menyaksikan tradisi Nyale
ReplyDelete