Pertama kali mendapat kabar dari produser bahwa saya akan ditugaskan untuk meliput ke daerah Aceh, saya langsung panik tingkat dewa. Betapa tidak, meskipun saya seorang muslimah yang berkerudung, namun saya masih terkategorikan jilbaber metal. Masih lebih suka pakai celana jeans dan sepatu kets serta beberapa tabiat saya yang lebih mendekati sosok cowok daripada cewek *setidaknya begitulah kata orang-orang disekitar saya*. Namun sebagai jurnalis yang baik *halah.. lebay tingkat dewa nih* saya mengiyakan tugas kantor tersebut.
Pada hari Rabu, 11 September 2013, saya sudah duduk dengan manis di bandara Soekarno Hatta, namun tetap dengan penampilan sehari-hari saya, kaos oblong, celana jeans dan sepatu kets. Sebenarnya teman kantor saya, Yuli Dwi, sudah menawari saya untuk meminjamkan beberapa roknya. Namun berhubung pekerjaan kali ini saya harus memanggul kamera dan tripod sendirian, saya pun menolak dan memilih untuk tetap memakai celana kebangsaan saya itu. Tapi tetap saya mempersiapkan sarung dan pashmina untuk dipakai untuk menyamarkan celana jeans saya.
Setelah menempuh penerbangan 2 jam 50 menit, sekitar pukul 11.00 WIB sampailah saya dan team di bandara Sultan Iskandar Muda. Diantara rasa senang dan khawatir, saya tetap berusaha menikmati pengalaman kali kedua menginjakkan kaki di pulau Sumatera.
Dijemput dengan supir dan mobil sewaan, saya dan team mulai menjelajah kota Banda Aceh untuk meliput tentang objek wisata di kota ini. *Gila ya, baru sampai langsung kerja, tidak pakai mampir dulu buat check in hotel, ck..ck..ck..*
Objek wisata yang pertama kali didatangi sudah barang tentu masjid raya Banda Aceh, Masjid Baiturrahman. Mungkin seluruh orang Indonesia mengenal masjid ini karena merupakan salah satu bangunan yang masih tegak berdiri saat tsunami setinggi lebih dari 6 meter menyapu dan meluluh-lantakkan kawasan Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004.
Memasuki kawasan masjid ini saya agak sedikit khawatir melihat tulisan "Anda memasuki kawasan berbusana muslim dan muslimah". Hmm.. Tapi setelah lirik kanan-kiri dan melihat ada beberapa orang yang memakai celana juga, saya tetap memasuki kawasan masjid ini. Saya cukup takjub melihat masjid ini karena biasanya saya cuma melihat gambar di koran, majalah, TV, dan online tapi tidak menyangka masjid ini begitu besar dan megahnya.
Setelah mondar-mandir di dalam dan diluar masjid sambil mengambil gambar sambil dilihatin sama petugas di pintu masuk, saya jadi semakin pede dengan baju kebangsaan saya, berarti tidak ada masalah dong, masih sesuai syariah. Hehehe.. Setelah selesai mengambil gambar disini, saya menuju ke hotel yang jaraknya cuma 500 meter dari masjid ini untuk check in sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya, kapal PLTD Apung yang terdampar akibat tsunami.
Ketika sedang serius mengambil gambar di bangkai kapal yang hanyut terbawa tsunami ini saya juga sempat khawatir, namun saat disapa oleh para penjaga dikawasan ini yang menanyakan saya dari media mana tanpa mempermasalahkan kostum saya, saya kembali merasa senang. Ahh.. ternyata hukum syariah tidak ketat-ketat amat kok. Sayangnya saya tidak bisa berlama-lama disini karena hujan deras yang datang tiba-tiba mengguyur Banda Aceh. Akhirnya saya harus kembali ke hotel untuk berisitirahat karena besok subuh saya punya jadwal liputan.
Bangun sekitar pukul 5 pagi lewat sedikit, saya dan Eka, sang fotografer pun bersiap-siap untuk segera menuju ke masjid, mengambil gambar masjid di waktu subuh hingga menjelang sunrise, sedangkan saya untuk kebutuhan gambar video timelapse yaitu manipulasi kecepatan gambar video sehingga video akan terlihat seperti dipercepat misalnya gambar matahari tenggelam atau terbit yang sangat cepat. Rencananya saya akan mengambil gambar masjid mulai dari subuh hingga matahari terbit.
Masuk di kawasan masjid sekali lagi tidak ada teguran soal celana favorit saya ini jadi saya cuek saja mondar-mandir memotret sambil membiarkan kamera video saya merekam gambar. Selain untuk timelapse, rencananya kami akan mengambil gambar masjid dari atas menara yang berada persis di depan masjid ini. Kita pun berkeliling mencari pengurus masjid yang berwenang.
Saat berkeliling inilah muncul masalah. Pertama, orang marketing kantor saya datang dengan bercelana pendek, sudah pastilah langsung ditegur sama security masjid. Akibatnya dia tidak bisa masuk kawasan masjid, padahal tugas dia melobby pengurus masjid. Yang kedua, pas pengurus masjid melihat saya dan Eka yang menggunakan celana panjang (kemarin dia belum bertemu kita berdua), dia langsung meminta kita berdua untuk menggunakan sarung, ya.. sarung saudara-saudara. Jika tidak kita tidak boleh naik ke menara masjid. Arghh.. kena juga deh! hehehe..
Akhirnya kita bertiga balik lagi ke hotel. Demi gambar dari atas menara, saya dkk harus ganti kostum. Eka mengganti dengan rok, dan saya melapisi celana jeans saya dengan bawahan mukena *teteup keukeuh dengan celana jeans*. Kenapa tidak sarung? Karena sarung saya ketinggalan saudara-saudara.. hahahaha... Setelah itu kita balik lagi ke masjid dan ditemanilah kita menuju menara. Namun pengurus masjid hanya mengantar sampai di depan menara. Selanjutnya kita ditinggal bertiga. Secara didalam dia tidak ikut masuk, sebelum naik tangga saya melepas bawahan mukena itu.
Maaf ya, bukannya tidak mau menuruti aturan, namun tangga menara itu semakin keatas semakin kecil dan sempit, sedangkan saya membawa kamera dan tripod yang bobotnya mencapai 7 kilo lebih. Bisa jatuh saya keserimpet rok itu. Makanya saya lepas demi keamanan saya dan peralatan tempur. Hehehe..
Pemandangan kota Banda Aceh dan masjid Baiturrahman dari atas menara ini sangat menakjubkan. Di kejauhan terlihat pulau Aceh dan Pulau Weh. Wahh.. Keren sekali!! Disini saya sempat membayangkan bagaimana wujud kota ini saat tsunami pada 2004 lalu. Namun bayangan itu segera saya lupakan saat ingat jumlah korban meninggal. Ngeri euy! May you all rest in peace at Heaven! *praying*
Diatas menara ini saya tidak lupa bernarsis ria dong, soalnya saya yakin dari jutaan orang yang pernah ke Banda Aceh, hanya segelintir orang yang punya foto diatas menara ini. betul, tidak?! :D
Setelah puas mengambil gambar disini, kita pun turun dan beranjak ke tempat lainnya. Toko souvenir (sumpah! saya tidak beli apa-apa disini! hehehe), mewawancarai wakil walikota Banda Aceh, menengok kuburan massal para korban tsunami, dan pantai Ulee Lheue. Oh ya, di pantai ini saya melihat satu hal menarik, yaitu para SPG rokok.
Pasti kalian berpikir: apa yang aneh dari SPG rokok? mereka boleh pakai rok mini seperti di Jakarta? Oh tentu tidak! Sesuai dengan hukum syariah yang berlaku di Banda Aceh, semua wanita wajib pakai pakaian tertutup termasuk SPG rokok ini. Jadi, mereka pakai jilbab. Seriusan saya! Memang sih pakaiannya agak ketat, tapi tetap saja saya sedikit bingung dan takjub melihat SPG rokok yang berjilbab, terlepas dia beneran muslim atau tidak.
Keesokan harinya waktu kerja sedikit longgar, saya hanya mengunjungi taman Thanks to the World dan museum Tsunami. Taman Thanks to the World merupakan persembahan khusus dari Pemda Banda Aceh kepada 53 negara yang telah membantu dan memberikan sumbangan untuk pemulihan kota Banda Aceh pasca Tsunami. Di taman ini biasanya dipakai untuk berolahraga warga Banda Aceh di sore hari karena letaknya yang berada di pusat kota. Sedangkan Museum Tsunami yang berada tepat disamping taman ini merupakan monumen untuk mengingat kembali dan belajar mengenai tsunami yang melanda Aceh.
Sepanjang perjalanan saya di Banda Aceh, saya tidak menemui kesulitan berarti berkaitan dengan hukum syariah yang berlaku di daerah ini. Saya tetap bisa memakai celana jeans dan sepatu kets kesayangan. Cuma atasannya memang sengaja memilih yang sedikit lebih longgar dari biasanya.
Di setiap sudut kota, entah sadar atau tidak, saya jarang menemukan wanita yang tidak berjilbab, bahkan sampai anak jalanan berusia diatas 13 tahun yang saya temui di simpang lima pun memakainya. Saya memang sempat membaca di salah satu surat kabar lokal yang memberitakan soal razia pakaian ketat di Banda Aceh. Mereka yang terjaring diberi pembinaan mengenai hukum syariah dan pakaian yang sebaiknya digunakan saat diluar ruangan.
Seperti kata teman saya, Eka, orang yang cerdas adalah orang yang memahami mengenai peraturan di sebuah daerah dan bisa beradaptasi dengannya.
Jadi tidak perlu takut mengunjungi Banda Aceh dengan hukum syariah yang diberlakukannya. Bagi warga non muslim, jika hendak berkunjung, sebaiknya memakai celana panjang dan baju yang longgar. Mereka pasti paham kalau kalian berasal dari luar kota. Hukuman cambuk?? Sejauh yang saya tahu, itu berlaku untuk orang yang berKTP Aceh deh.. Jadi, jika kita sopan, mereka pun segan. (EKW)
Pada hari Rabu, 11 September 2013, saya sudah duduk dengan manis di bandara Soekarno Hatta, namun tetap dengan penampilan sehari-hari saya, kaos oblong, celana jeans dan sepatu kets. Sebenarnya teman kantor saya, Yuli Dwi, sudah menawari saya untuk meminjamkan beberapa roknya. Namun berhubung pekerjaan kali ini saya harus memanggul kamera dan tripod sendirian, saya pun menolak dan memilih untuk tetap memakai celana kebangsaan saya itu. Tapi tetap saya mempersiapkan sarung dan pashmina untuk dipakai untuk menyamarkan celana jeans saya.
Setelah menempuh penerbangan 2 jam 50 menit, sekitar pukul 11.00 WIB sampailah saya dan team di bandara Sultan Iskandar Muda. Diantara rasa senang dan khawatir, saya tetap berusaha menikmati pengalaman kali kedua menginjakkan kaki di pulau Sumatera.
Dijemput dengan supir dan mobil sewaan, saya dan team mulai menjelajah kota Banda Aceh untuk meliput tentang objek wisata di kota ini. *Gila ya, baru sampai langsung kerja, tidak pakai mampir dulu buat check in hotel, ck..ck..ck..*
Objek wisata yang pertama kali didatangi sudah barang tentu masjid raya Banda Aceh, Masjid Baiturrahman. Mungkin seluruh orang Indonesia mengenal masjid ini karena merupakan salah satu bangunan yang masih tegak berdiri saat tsunami setinggi lebih dari 6 meter menyapu dan meluluh-lantakkan kawasan Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004.
Memasuki kawasan masjid ini saya agak sedikit khawatir melihat tulisan "Anda memasuki kawasan berbusana muslim dan muslimah". Hmm.. Tapi setelah lirik kanan-kiri dan melihat ada beberapa orang yang memakai celana juga, saya tetap memasuki kawasan masjid ini. Saya cukup takjub melihat masjid ini karena biasanya saya cuma melihat gambar di koran, majalah, TV, dan online tapi tidak menyangka masjid ini begitu besar dan megahnya.
Menara masjid Baiturrahman |
monumen PLTD Apung |
Bangun sekitar pukul 5 pagi lewat sedikit, saya dan Eka, sang fotografer pun bersiap-siap untuk segera menuju ke masjid, mengambil gambar masjid di waktu subuh hingga menjelang sunrise, sedangkan saya untuk kebutuhan gambar video timelapse yaitu manipulasi kecepatan gambar video sehingga video akan terlihat seperti dipercepat misalnya gambar matahari tenggelam atau terbit yang sangat cepat. Rencananya saya akan mengambil gambar masjid mulai dari subuh hingga matahari terbit.
Masjid Baiturrahman di kala subuh |
Saat berkeliling inilah muncul masalah. Pertama, orang marketing kantor saya datang dengan bercelana pendek, sudah pastilah langsung ditegur sama security masjid. Akibatnya dia tidak bisa masuk kawasan masjid, padahal tugas dia melobby pengurus masjid. Yang kedua, pas pengurus masjid melihat saya dan Eka yang menggunakan celana panjang (kemarin dia belum bertemu kita berdua), dia langsung meminta kita berdua untuk menggunakan sarung, ya.. sarung saudara-saudara. Jika tidak kita tidak boleh naik ke menara masjid. Arghh.. kena juga deh! hehehe..
Akhirnya kita bertiga balik lagi ke hotel. Demi gambar dari atas menara, saya dkk harus ganti kostum. Eka mengganti dengan rok, dan saya melapisi celana jeans saya dengan bawahan mukena *teteup keukeuh dengan celana jeans*. Kenapa tidak sarung? Karena sarung saya ketinggalan saudara-saudara.. hahahaha... Setelah itu kita balik lagi ke masjid dan ditemanilah kita menuju menara. Namun pengurus masjid hanya mengantar sampai di depan menara. Selanjutnya kita ditinggal bertiga. Secara didalam dia tidak ikut masuk, sebelum naik tangga saya melepas bawahan mukena itu.
Maaf ya, bukannya tidak mau menuruti aturan, namun tangga menara itu semakin keatas semakin kecil dan sempit, sedangkan saya membawa kamera dan tripod yang bobotnya mencapai 7 kilo lebih. Bisa jatuh saya keserimpet rok itu. Makanya saya lepas demi keamanan saya dan peralatan tempur. Hehehe..
Pemandangan kota Banda Aceh dan masjid Baiturrahman dari atas menara ini sangat menakjubkan. Di kejauhan terlihat pulau Aceh dan Pulau Weh. Wahh.. Keren sekali!! Disini saya sempat membayangkan bagaimana wujud kota ini saat tsunami pada 2004 lalu. Namun bayangan itu segera saya lupakan saat ingat jumlah korban meninggal. Ngeri euy! May you all rest in peace at Heaven! *praying*
Diatas menara ini saya tidak lupa bernarsis ria dong, soalnya saya yakin dari jutaan orang yang pernah ke Banda Aceh, hanya segelintir orang yang punya foto diatas menara ini. betul, tidak?! :D
Demi gambar ini saya rela untuk memakai rok :D |
Senang bisa menikmati pemandangan masjid raya dan kota Banda Aceh dari atas menara |
Pasti kalian berpikir: apa yang aneh dari SPG rokok? mereka boleh pakai rok mini seperti di Jakarta? Oh tentu tidak! Sesuai dengan hukum syariah yang berlaku di Banda Aceh, semua wanita wajib pakai pakaian tertutup termasuk SPG rokok ini. Jadi, mereka pakai jilbab. Seriusan saya! Memang sih pakaiannya agak ketat, tapi tetap saja saya sedikit bingung dan takjub melihat SPG rokok yang berjilbab, terlepas dia beneran muslim atau tidak.
SPG rokok yang berjilbab |
lapangan Blang Padang tenpat monumen "Thanks to the World" |
Peta monumen "Thanks to the World" |
Salah satu plakat untuk negara finlandia |
salah satu ruangan di dalam Museum tsunami bernama "Sumur Doa" yang berisi nama-nama korban tsunami |
Di setiap sudut kota, entah sadar atau tidak, saya jarang menemukan wanita yang tidak berjilbab, bahkan sampai anak jalanan berusia diatas 13 tahun yang saya temui di simpang lima pun memakainya. Saya memang sempat membaca di salah satu surat kabar lokal yang memberitakan soal razia pakaian ketat di Banda Aceh. Mereka yang terjaring diberi pembinaan mengenai hukum syariah dan pakaian yang sebaiknya digunakan saat diluar ruangan.
bercengkerama dengan anak jalan di Banda Aceh |
Jadi tidak perlu takut mengunjungi Banda Aceh dengan hukum syariah yang diberlakukannya. Bagi warga non muslim, jika hendak berkunjung, sebaiknya memakai celana panjang dan baju yang longgar. Mereka pasti paham kalau kalian berasal dari luar kota. Hukuman cambuk?? Sejauh yang saya tahu, itu berlaku untuk orang yang berKTP Aceh deh.. Jadi, jika kita sopan, mereka pun segan. (EKW)
Comments
Post a Comment