Profesi
Jurnalis saat ini termasuk salah satu profesi incaran banyak orang karena
iming-iming traveling gratis atau
dibayarin kantor yang selalu menjadi motivasi utama. Saya sendiri meski saat
ini bekerja sebagai Video Jurnalis di salah
satu media nasional, sebenarnya pada awalnya tidak pernah membayangkan akan
benar-benar menjadi jurnalis, meski saya lulusan Jurnalistik.
Maklum, sejak
awal saya melihat profesi jurnalis adalah profesi orang cerdas nan serius bin
susah, yang notabene bukan saya banget yang pelupa tingkat dewa, suka becanda
dan malas melakukan hal-hal susah. Namun, suratan takdir Allah SWT ternyata
menggariskan bahwa saya harus jadi jurnalis dan kini, ini adalah profesi yang
telah saya geluti sejak tahun 2009.
*lama juga yaa.. *
Awal
jadi jurnalis, saya tidak membayangkan akan bisa pergi keluar kota. Betapa
tidak, mengerjakan liputan dalam kota saja bisa kelar jam 2 atau jam 3 pagi
setiap hari,plus pakai acara deraian air mata dan keringat plus emosi tingkat
dewa kalau harus ngotot-ngototan sama editor dan redaktur, mana sempat mau kepikiran keluar kota. Mau
ngambil cuti?? Minta pengganti libur saja mesti pakai acara debat dulu sama
boss yang hasilnya lebih banyak kalah debat.
Sebenarnya
di setiap liputan keluar kota, tidak melulu bisa jalan-jalan lhoo.. 5 liputan
luar kota pertama saya mungkin masih bisa dinikmati perjalanannya karena rasa
excited yang tinggi. Tugas liputan luar kota berikutnya rasa malas mulai
menghinggapi. Betapa tidak, tugas dan tanggung jawab keluar kota 3 kali lipat
libah banyak daripada liputan dalam kota.
Liputan di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan Harus ambil gambar tapi tidak boleh banyak gerak di atas kapal. Resiko kapal kebalik dan kamera rusak! |
Contohnya
pertama kali saya liputan keluar kota adalah tahun 2010, saat bekerja di salah
satu majalah pertanian ternama di Indonesia.
Kota pertama yang saya tuju adalah kota Surabaya dan Malang. Dengan
jangka waktu liputan satu minggu, awalnya saya mendapat tugas 3 tema liputan,
hmm.. masih bisa senyum-senyum karena mikir. Seminggu sebelum keberangkatan
sibuk riset sana-sini termasuk riset tempat wisata apa saja yang mau dikunjungi
disana.
Berhari-hari
menuju tanggal keberangkatan, tema bertambah menjadi hampir 7 tema dengan total
sekitar 13 narsum yang harus saya temui di kota Surabaya, Sidoarjo, Malang.
Udah begitu, mending kalau narsumnya ada di tengah kota, itu narsum menyebar di
ujung-ujung desa dan perbatasan kota euy. Saya cuma bisa garuk-garuk kepala
melihat list kerjaannya. Sudah begitu, begitu sampai di tempat liputan, salah
satu narsum di Malang mengajak saya melihat kebunnya di daerah Situbondo yang
berjarak 4-5 jam. Bisa nambah hari? kata siapa!!! Hadeuh!!! Senang?! Capek woyy.. hampir
sepanjang jalan justru saya habiskan dengan tidur.
Lagipula,
dengan berprofesi sebagai Jurnalis, siap-siap cuti dibatalkan secara sepihak oleh kantor ketika
ada liputan dadakan. Contohnya, saya pernah berniat cuti 7 hari kerja dan pulang
kampung ke Sorong, Papua Barat. Sudah riset dan cari-cari tiket promo (tahu
sendiri kan tiket ke wilayah Indonesia Timur mahal euy!) plus pengumuman sejak
6 bulan sebelumnya akan cuti, namun apa daya, sebulan sebelum berangkat, kantor
punya project liputan yang membuat saya tidak boleh cuti selama minimal 3 bulan
ke depan. Hiks.. Hiks. Hiks.. *dadah-dadah sama tiket ke Sorong*
Kadang memperhatikan kelakuan teman lain saat mengambil gambar jadi obat mengatasi beratnya tugas di lapangan. Pantai Pasir Panjang, Singkawang, Kalimantan Barat |
Pernah
juga saya janjian sama teman untuk jalan-jalan ke pulau Sangiang di Banten pas
weekend. *weekend sih biasanya saya bisa libur*. Namun, hari jumat jam 6 sore
saat saya bersiap-siap pulang, boss datang dengan berita “Endah, besok masuk
ya, ada liputan ke daerah X” Saya? : *nangis di pojokan sambil garuk-garuk
tembok* *dadah-dadah sama teman yang ngetrip ke Sangiang*
Di lain
hari, saya pernah terpaksa membatalkan cuti untuk ke Makassar dan Bangka Belitung dengan
alasan liputan mendadak yang harus segera diliput. *dadah-dadah ke tiket Makassar
dan Bangka Belitung* *dadah-dadah ke kamera, saya menyerah*
Belum lagi peralatan yang bejibun jumlahnya. Secara saya Video Journalis, kamera video dan perabotan lenongnya dengan bobot bisa mencapai di atas 15 kilo harus saya bawa, belum termasuk laptop. Boleh sih pakai porter, tapi tetap saja resiko kamera rusak kan ditanggung karyawan yang membawa kamera, jadi mau tidak mau kamera seberat apapun tetap saya bawa sendiri kemana-mana. Dari pada jadi abdi dalem seumur hidup di kantor. *ceritanya lebay* Hehehehe..
Namun
meski dibalik susahnya minta cuti liburan, memang tidak bisa disangkal bahwa
dengan profesi Jurnalis, saya memang bisa bepergian ke berbagai tempat dan
bertemu dengan banyak orang yang sangat menginspirasi. Misalnya ke Pulau Sumba
untuk melihat upacara Pasola dan bertemu dengan orang-orang dengan kepercayaan
Marapu yang sangat terbuka, atau melihat keindahan alam danau Sentani Jayapura,
atau danau Toba di Sumatra Utara.
Bersama salah satu penduduk di desa Prai Kalembu, kota Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur |
Salah satu sudut danau Toba, Sumatera Utara. |
Intinya
sih, apapun pekerjaan yang kita geluti saat ini, satu-satunya cara menikmati kelebihan
dan kekurangannya adalah dengan bersyukur kepada Allah SWT atas apa yang kita
miliki saat ini, karena tanpa rasa syukur itu, semua yang kita miliki akan
terasa sia-sia dan tidak ada artinya. Saat ini, cara paling ampuh buat saya
untuk menikmati suka-duka pekerjaan adalah dengan move on dari masalah di hari yang lalu, melakukan yang terbaik di
hari ini, dan tidak mengkhawatirkan hari esok. Have fun saja lah pokoknya.
Lalu, kalau disuruh milih enakan mana liputan luar kota dengan biaya kantor atau traveling dengan biaya sendiri?? Tentu saja buat saya pribadi lebih enak traveling dengan biaya sendiri, karena saya bebas mengatur waktu mau tidur seharian atau mau jalan seharian. (EKW)
Sama deh kayak blogger yang "diajak jalan" pasti ada tanggung jawab, jadi meskipun dibayarin, tetep aja punya peer banyak buat nulis setelah pulang :)
ReplyDeleteIya mas fahmi,
Deletemakanya sampai sekarang saya masih belum melirik profesi travel blogger bersponsor karena tau beratnya tanggung jawabnya.. hehehehe.. :)
Membaca artikelny ..nampaknya benar-benar berjibaku dengan waktu ya saat peliputan. Cape tapi suka kan? yahh disyukuri bisa bertemu banyak orang dengan berbagai karakter tentunya.
ReplyDeleteiyaa.. memang seperti itu adanya dunia jurnalis..
Deleteyahhh dinikmati saja suka dan dukanya.. :)
keren gan fotonya..
ReplyDeleteterima kasih :)
DeleteSesama jurnalis, toss. Hehehe. Semangat selalu menjadi jurnalis ya mba
ReplyDeletesemangat terus..
Deletesalam kenal ya. :)
hmmm... lumayan sering jalan2 dibiayain sama kantor tapi tanggung jawabnya lumayan berat juga ya... emg semuanya ada plus n minusnya... hehehe...
ReplyDeleteyahh pokoknya ada suka dukanya deh jadi jurnalis..
DeleteJadi pengen menggeluti jurnailis nih. Sepertinya cocok dengan jiwa saya yang duka petualang dan suka photo-photo. Ah pendidikan tidak memadai jadi malu sendiri. Enakkan dibiaya kantor, sehingga uang pribadi aman :)
ReplyDeletebanyak lowongan kok di media-media.. silakan coba apply aja.. siapa tau ada yang nyantol mas.
DeleteWidih, gede banget mbak kameranya itu? nggak berat manggul kesana kemari, sambil mencari alamat? hehe. Keep shooting :)
ReplyDeleteyahh lumayan lah beratnya.. setidaknya 10 kg. Pantesan badan saya segitu2 aja ya.. hahahaha...
Delete